Jumat, 09 April 2010

Hukum Perjanjian Syariah dan pelaksanaannya

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Terbukti, krisis 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Berbanding terbalik dengan bank muamalat yang justru mampu bertahan dari badai krisis tersebut dan menunjukan kinerja yang meningkat.

Hal inilah yang mendorong mulai dilirik system ekonomi syariah sebagai salah satu alternative bagi system ekonomi Indonesia. Bahkan apabila ekonomi syariah diterapkan secara maksimal didukung oleh instrumen keuangan dan produk- produk hukum yang memayungi, akan mampu membawa Indonesia menjadi negara kuat secara ekonomi yang berbasis kerakyatan. Untuk itu sangat dibutuhkan peran serta seluruh elemen masyarakat mulai dari pemerintah maupun masyarakat sebagai pelaku dan user.

Dukungan pemerintah dalam hal ini ditandai dengan adanya UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, adanya Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Perbankan Syariah, dan juga adanya Forum komunikasi Ekonomi Syariah, Masyarakat ekonomi syariah dan penyelenggaraan berbagai festival ekonomi syariah. yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia.

Tumbuhnya bank-bank syariah atau unit usaha syariah merupakan upaya yang dilakukan oleh bank plat merah maupun swasta untuk mendukung perkembangan system ini. Pertumbuhan asset yang dimiliki oleh perbankan syariah sampai dengan Juli 2008 hingga Maret 2009 tercatat 5 bank umum syariah (BUS), 26 unit usaha syariah (UUS) , dan 133 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) dengan Total kantor BUS dan UUS telah mencapai 888 kantor.

Kemudahan dan pelayanan menjadi ujung tombak untuk mengajak masyarakat turut serta mengembangkannya. Seperti Bank Muamalat yang bekerjasama dengan kantor pos untuk produk shar-e, dan atm dengan bank BCA yang notabene mempunyai ATM terbanyak dan tersebar diseluruh penjuru Indonesia.

Tentunya, tak dapat dipungkiri keinginan untuk menumbuh-kembangkan ekonomi syariah harus sejalan dengan kemampuan sumber daya insani yang saat ini masih relative belum banyak memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi syariah dan sebagian besar dari mereka yang bekerja pada bank syariah berasal dari bank konvensional. Penyerapan sumber daya insani berdasarkan data Bank Indonesia per Maret 2009 terdapat 7000 orang yang bekerja pada Bank umum Syariah, 2.178 orang pada Unit usaha Syariah dan 2.644 orang di BPRS.

Didukung penduduknya yang sebagian besar muslim bahkan terbesar didunia dan pemenuhan perangkat yang dibutuhkan, diharapkan perkembangan ekonomi syariah lebih maju seperti halnya negara sahabat Malaysia dan Singapore yang terlihat lebih agresif.[1] Dan pastinya di dalam akad-akad kegiatan yang dilakukan oleh bank syariah menerapkan perjanjian, dimana perjanjian tersebut harus berlandaskan syariah.

2. Rumusan Masalah

2.1 Apa pengertian hukum perjanjian syariah itu?

2.2 Bagaimanakah pelaksanaan hukum perjanjian syariah itu dalam perbankan syariah?

3. Tujuan

3.1 Dapat mengetahui pengertian hokum perjanjian syariah.

3.2 Dapat mengetahui pelaksanaan hokum perjanjian syariah di dalam perbankan syariah.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Perjanjian Syariah

Merupakan suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.[2]

Dalam fiqh muamalah, pengertian kontrak pejanjian masuk dalam bab pembahasan tentang akad. Pengertian akad (al-‘aqd) secara bahasa dapat diartikan sebagai perikatan atau perjanjian.[3]

Jadi, yang dimaksud dengan Hukum kontrak syariah adalah hokum yang mengatur perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.[4]

2. Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah dalam Perbankan Syari’ah

Bank Syariah di Indonesia didirikan pada tahun 1992, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal 1 angka 3, disebutkan pengertian bank umum adalah “bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensionala dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Sedangkan, yang dimaksud dengan prinsip syariah, disebutkan dalam pasal 1 angka 13, yaitu “aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah”. Di Indonesia berlaku dua sistem perbankan, yaitu sistem konvensional yang menggunakan sistem bunga dan sistem syariah yang berlandaskan pada ketentuan Islam.[5]

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah diatur dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Kegiatan-kegiatan itu antara lain sebagai berikut:[6]

a. Penghimpunan Dana

© Giro berdasarkan prinsip wadi’ah

Giro adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu dengan menggunakan cek atau alat sejenis lainnya. Pada dasarnya, wadi’ah merupakan akad titipan yang tidak memberikan wewenang kepada penerima titipan untuk menggunakan benda yang dititipkan. Penerima titipan berhak untuk mendapatkan upah untuk itu. Bagi bank yang menjadi pihak yang menerima titipan dengan seijin nasabahnya sebagai pihak yang menitipkan, bank dapat menggunakan dana milik nasabah dengan menjamin, bahwa bank akan mengembalikan dana itu secara utuh. Bank memiliki tanggung jawab atas segala resiko yang terjadi pada dana tersebut. Dalam kondisi titipan seperti ini, titipannya disebut dengan wadi’ah yad adh-dhamanah. Sedangkan untuk titipan yang penerima titipan tidak berhak untuk menggunakan benda titipan disebut dengan wadi’ah yad al-amanah. Dari proses wadi’ah yad adh-dhamanah ini, tentunya bank tidak memperoleh upah dari nasabah atas jasa titipannya, tetapi ia berhak mendapatkan semua keuntungan yang diperoleh dari hasil penggunaan dana nasabah tersebut. Sedangkan bagi nasabah, selain ia mendapatkan jaminan keamanan terhadap dananya, biasanya ia memperoleh intensif dari bank. Pemberian intensif oleh bank tidak diperjanjikan diawal akad dan jumlahnya tidak ditetapkan terlebih dulu.[7]

© Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah

Tabungan adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu oleh nasabah dengan menggunakan buku tabungan atau alat lainnya tetapi tidak menggunakan cek. Prinsip wadi’ah pada tabungan digunakan sama halnya dengan produk giro yang telah diuraikan diatas.

Prinsip mudharabah pada tabungan adalah antara nasabah dan bank mengadakan akad mudharabah, yaitu nasabah menyimpan sejumlah dana kepada bank untuk dikelola oleh bank. Dalam hal ini, hasil yang diperoleh dari pengelolaan dananya akan dibagikan kepada nasabah sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan bank sebagai pengelola dana (mudharib). Besar bagi hasil (nisbah) tersebut telah disepakati di awal akad.[8]

© Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah

Deposito berjangka merupakan penyimpanan dana oleh nasabah kepada bank dengan ketentuan waktu penarikan dana adalah dalam jangka waktu tertentu sejak penyetoran dananya, seperti 30 hari, 90 hari, dan sebagainya. Dalam hal ini, perikatan yang digunakan adalah mudharabah. Nasabah sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib saling terikat untuk melakukan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan di awal akad.[9]

b. Penyaluran Dana

1) Prinsip Jual Beli

§ Murabahah

Yaitu jual-beli dengan adanya tambahan dari harga asal. Nasabah yang memiliki kebutuhan benda tertentu dapat mengajukan permohonan kepada Bank Syariah untuk membeli benda tersebut. Benda yang telah dibeli oleh bank, kemudian akan dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal. Kelebihan harga ini tentunya didasarkan pada kesepakatan diantara keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh nasabah biasanya dalam bentuk angsuran, meskipun tidak dilarang untuk membayar secara tunai. Sistem ini biasanya dilakukan untuk pembiayaan barang-barang investasi seperti melalui letter of credit (L/C) dan pembiayaan persediaan sebagai modal kerja.[10]

§ Istishna

Bank sebagai penjual (shani’) mendapat pesanan dari nasabah sebagai pembeli (mustashni’) dengan cara pembayaran dimuka, secara angsuran, atau ditangguhkan pada waktu tertentu. Barang yang dibutuhkan oleh nasabah tidak seketika itu ada, tetapi harus dilakukan proses pembuatannya terlebih dahulu. Bank akan melakukan pemesanan kembali kepada perusahaan industri untuk memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dalam hal jual beli yang kedua ini disebut juga dengan istishna parallel. Keuntungan yang diperoleh oleh bank adalah berupa selisih harga dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli. Model perikatan istishna bisa dilakukan pada pembiayaan persediaan (inventory financing) sebagai modal kerja.[11]

§ Salam

Salam hamper sama dengan istishna. Pembayaran harga pada salam dilakukan pada saat akad dilakukan. Sifat akad dari salam adalah mengikat secara asli (thabi’i), yaitu mengikat semua pihak sejak awal. Pada perikatan salam, nasabah berkedudukan sebagai pembeli (muslam), sedangkan bank sebagai penjual (muslam ilaih). Bank juga dapat melakukan salam paralel dengan produsen. Pada salam paralel bank adalah muslam dan produsen adalah muslam alaih.[12]

2) Prinsip Bagi Hasil

ª Mudharabah

Bank dan nasabah dapat melakukan kerjasama dalam mengadakan suatu usaha. Dalam mudharabah, bank sebagai pemilik dana (shahibul maal) menyediakan sejumlah dana untuk suatu usaha yang akan dikelola oleh nasabah (mudharib). Pada awal akad, keduanya telah menyepakati nisbah yang akan dibagikan dari hasil keuntungan yang diperoleh dari usahanya.[13] Jenis mudharabah yang dapat digunakan adalah mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam mudharabah mutlaqah, pihak pemodal tidak berhak mengelola persekutuan secara mutlak. Namun pihak mudharib lah yang berhak mengelola, sebab mudharabah merupakan percampuran antara badan pengelola (pekerja) dengan modal, tetapi bukan pemilik modal. Sehingga pemodal layaknya pihak yang berada di luar persekutuan.[14]

Mudharabah muqayyadah adalah akad syirkah yang mengharuskan pekerja (mudharib) untuk mengikuti ketentuaan maupun pengarahan yang ditetapkan oleh pemilik modal (shahibul maal) dalam mengelola usaha. Dengan demikian, dalam persekutuan mudharabah ini, kewenangan yang diberikan kepada pihak mudharib bersifat terbatas.[15]

ª Musyarakah

Syirkah yaitu akad perjanjian antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.[16] Dalam kerjasama ini masing-masing pihak (bank dan nasabah) memberikan kontribusi dana untuk suatu usaha tertentu dengan keuntungan dan resiko yang terjadi akan ditanggung bersama. Aplikasinya dalam perbankan, musyarakah dapat dipergunakan untuk pembiayaan proyek dan juga pemiayaan modal ventura.[17]

3) Prinsip Sewa menyewa

Ճ Ijarah

Ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.[18]

Dalam praktik, biasanya disebut dengan operational lease, yaitu bank menyewakan barang yang dibutuhkan nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan usahanya. Nasabah memiliki kewajiban membayar harga sewa kepada bank.[19]

Ճ Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT)

Sering kali barang yang disewakan kepada nasabah akan merepotkan bank dalam hal pemeliharaanya. Oleh karena itu, bank dapat memberikan opsi kepada nasabah untuk menjadi pemilik atas barang setelah masa sewa telah berakhir. Hal ini yang diaplikasikan dalam bentuk financial lease with purchase option, baik dalam bentuk pembiayaan produktif berupa investasi maupun pembiayaan konsumtif.[20]

4) Prinsip Pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh

Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya menghutang uang Rp50.000,- akan dibayar Rp50.000,- pula.[21] Perikatan jenis ini bertujuan untuk menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung (komersil). Oleh karena itu, bank hanya akan mendapatkan kembali sejumlah modal yang diberikan kepada nasabah. Bank syariah dapat menyediakan fasilitas ini dalam bentuk sebagai berikut:[22]

h Sebagai dana talangan untuk jangka waktu singkat, maka nasabah akan mengembalikannya dengan cepat, seperti compensating balance dan factoring (anjak piutang).[23]

h Sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat karena nasabah tidak bisa menarik dananya, misalnya karena tersimpan dalam deposito.

h Sebagai fasilitas membantu usaha kecil atau sosial.

5) Jasa Pelayanan

v Wakalah

Berwakil ialah menyerahkan pekerjaan yang dikerjakan kepada yang lain, agar dikerjakannya (wakil) semasa hidupnya (yang berwakil).[24] Perwakilan merupakan bentuk pemberian kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam pasal 1792 KUH Perdata, yang dimaksud pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.[25]

Bank syariah disini sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada perusahaan listrik atau telepon. Contoh lainnya adalah bank mewakili sekolah atau universitas sebagai penerima biaya pembayaran SPP dari para pelajar atau mahasiswa untuk biaya studi.[26]

v Hawalah

Hiwalah ialah memindahkan hutang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan yang lain.[27] Hiwalah disyari’atkan untuk memberikan kemudahan bagi hamba-hambaNya dalam kehidupan muamalah. Melalui akad hiwalah, memungkinkan seseorang yang mengalami kesulitan untuk mengalihkan sesuatu yang masih menjadi tanggungannya (hutang) kepada pihak lain.[28]

Dalam praktiknya, perikatan ini biasanya dilakukan pada produk perbankan berikut ini:[29]

a) Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.

b) Post dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.

c) Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.

v Kafalah

Menurut Pasal 612 HUH Perdata Islam hak jaminan (kafalah) adalah suatu bentuk penambahan kewajiban kepada suatu tanggungan yang berkaitan dengan adanya permintaan atas barang tertentu; artinya seseorang menggabungkan dan mengikatkan dirinya kepada orang lain, dengan sesuatu yang berkaitan dengan adanya penambahan kewajiban bagi orang lain tersebut.[30]

Pada perikatan ini, bank berkedudukan sebagai pemberi jaminan (kafiil) atas nasabahnya (makful), kemudian nasabah akan mendapatkan upah atas jasanya tersebut selain harus mengembalikan dana yang telah dikeluarkan oleh bank kepada penerima jaminan. Contohnya, kafalah dapat dilaksanakan pada performance bonds atau jaminan prestasi.[31]

v Rahn

Perjanjian gadai adalah merupakan perjanjian dua pihak, yaitu orang yang berhutang (debitur), pemberi gadai, yaitu orang yang menyerahkan benda yang dijadikan objek perjanjian gadai serta orang yang berpiutang atau pemegang gadai (kreditur).[32]

Rahn merupakan perikatan pemberian jaminan yang diberikan oleh nasabah atas pinjamannya dari bank. Dalam bank syari’ah, rahn dapat digunakan sebagai produk pelengkap dan produk tersendiri. Produk pelengkap itu yaitu pada saat nasabah melakukan perikatan dalam bentuk lain (seperti mudharabah, murabahah, dan lainnya), maka bank dapat meminta nasabah untuk menyerahkan jaminan. Sebagai produk tersendiri, yaitu sering kali dikenal dengan istilah gadai. Nasabah yang membutuhkan biaya dapat menggadaikan barang miliknya. Barang ini kemudian dapat dinilai harganya, sehingga bank dapat memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai dengan nilai barang gadai tersebut. Dalam hal ini, bank akan memperoleh keuntungan berupa biaya penitipan dan pemeliharaan atas barang gadai tersebut. Apabila pinjaman telah lunas, maka barang gadai akan dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan.[33]

BAB III

PENUTUP

© Kesimpulan

Hukum kontrak syariah adalah hokum yang mengatur perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.

Bank Syariah di Indonesia didirikan pada tahun 1992, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah diatur dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004.

Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syari’ah itu antara lain sebagai berikut: Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, transaksi giro berdasarkan prinsip wadi’ah, deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, murabahah, istishna, salam, mudharabah, musyarakah (syirkah), ijarah, Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT), qardh, wakalah, hawalah, kafalah, dan rahn (gadai). Dimana kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah itu memiliki pelaksanaan yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

S, Burhanuddin. 2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta

Lubis, Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. 2004. Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika

Dewi, Gemala. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Antonio, Muhammad Syafi’i. 2002. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press

Rasjid, Sulaiman. 2001. Fiqh Islam. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo

http://www.islamic-center.or.id/berita-mainmenu-26/islamindonesia-mainmenu-33/823-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia-. 3/04/2010. 12:19 WIB



[2] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 11

[3] Ibid, hlm 12

[4] Ibid, hlm 12

[5] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 154

[6] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 155

[7] Ibid, hlm 155

[8] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 156

[9] Ibid, hlm 156

[10] Ibid, hlm 156-157

[11] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 157

[12] Ibid, hlm 157

[13] Ibid, hlm 158

[14] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 116

[15] Ibid, hlm 116

[16] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 74

[17] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 158

[18] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 52

[19] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 158-159

[20] Ibid, hlm 159

[21] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 306

[22] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, hlm 133

[23] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, hlm 162 dan 163

[24] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 320

[25] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 147

[26] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 159-160

[27] Sulaiman Rasjid, 2001, Fiqh Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 312

[28] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 139

[29] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160

[30] Burhanuddin S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 153

[31] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160

[32] Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 139

[33] Gemala Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 160-161